upaya Ia, menurut kekayaan kemuliaanNya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di dalam batinmu, sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu” (Efesus 3 : 16,17). Terjemahan lain mengungkapkan: ‘Kiranya oleh imanmu Kristus tinggal dan merasa betah di dalam hatimu” (Weymouth).
Yang jelas, salah satu doktrin kristiani yang paling luar biasa adalah bahwa Yesus Kristus sendiri akan masuk ke dalam hati seseorang melalui Roh Kudus dan tinggal di dalamnya. Kristus akan berdiam dalam setiap hati yang terbuka bagi-Nya.
Kepada murid-murid-Nya Dia berkata, “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firmanKu dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia” (Yoh. 14 : 23). Selain itu, Dia juga berkata bahwa Dia segera akan meninggalkan mereka (Yoh. 13 : 33). Para murid-Nya sulit memahami perkataan-Nya itu. Bagaimana mungkin Dia dapat meninggalkan mereka sekaligus tinggal bersama mereka dalam waktu bersamaan ?
Yang menarik di sini ialah: Yesus mengacu pada istilah yang sama, yakni rumah, seperti yang terdapat dalam Yohanes 14 : “Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu .... supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada” (ayat 2,3). Sementara Dia pergi ke surga untuk mempersiapkan tempat bagi murid-muridNya kelak, maka para murid dapat menyiapkan tempat bagi-Nya dalam hati mereka saat itu juga. Dia berjanji akan datang dan tinggal bersama mereka di dunia ini.
Hal ini begitu sulit untuk mereka pahami. Bagaimana semua ini dapat terjadi ?
Lalu, tibalah hari Pentakosta. Roh Kristus yang hidup diberikan bagi Gereja. Pada saat itulah mereka mengalami apa yang sebelumnya telah Yesus katakan kepada mereka. Pada saat itulah mereka mengerti. Allah tidak tinggal dalam kuil Herodes di Yerusalem, atau kuil lain buatan manusia! Melalui mujizat dari pencurahan kuasa Roh Kudus, Allah tinggal dalam hati manusia. Tubuh orang percaya menjadi bait Allah yang hidup dan hatinya menjadi rumah Kristus. Tiga puluh menit setelah peristiwa Pantekosta itu, para murid mendapat lebih banyak pengertian tentang Yesus daripada apa yang telah mereka pelajari selama tiga tahun sebelumnya.
Saya merasa bahwa hak manusia yang paling istimewa adalah menyediakan hati sebagai rumah Kristus, di mana kita dapat menyambut, melayani, menyenangkan, & mengenal Dia secara lebih mendalam.
Saya tak pernah lupa saat mengundang Dia masuk ke dalam hati saya. Sungguh menakjubkan! Pengalaman itu bukan hanya luar biasa secara emosional, tetapi sungguh nyata terjadi dalam diri saya. Dia masuk ke dalam hati saya yang gelap dan memberi terang. Dia menyalakan perapian yang membeku dan mengusir rasa dingin yang menusuk tulang. Dia mengalunkan musik di tengah kesunyian dan mengadakan keselarasan di mana ada ketidakselarasan. Dia mengisi kekosongan dengan persekutuan yang penuh kasih. Saya tidak kecewa karena telah membuka hati bagi Kristus, dan saya tak akan pernah kecewa.
Ini adalah langkah pertama untuk menjadikan hati kita rumah Kristus. Dia berkata, “Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membuka pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan dia bersama-sama dengan Aku” (Wahyu 3 : 20). Jika Anda ingin masuk ke hadirat Allah dan bertemu secara pribadi dengan Yesus Kristus di jiwa Anda yang paling dalam, bukalah lebar-lebar pintu hati Anda dan undanglah Dia masuk ke dalamnya untuk menjadi Juruselamat dan Tuhan.
Tatkala Kristus masuk ke dalam hati saya, dalam sukacita yang besar karena hubungan yang baru saya berkata kepada-Nya, “Tuhan, saya ingin hati ini menjadi milik-Mu. Saya rindu Engkau tinggal dalam hati saya dan merasa betah di situ. Saya rindu Engkau memakainya seperti milik-Mu. Saya akan mengajak Engkau berkeliling dalam rumah hati saya dan saya melihat hal-hal yang mungkin bisa diperbaiki sehingga Engkau dapat merasa lebih nyaman. Saya rindu Engkau dapat menikmati saat-saat yang kita lalui bersama.” Dia pun sangat senang karena mendapat tempat di dalam hati saya yang sederhana dan tidak berarti.

uang yang kami kunjungi adalah ruang belajar-perpustakaan. Ruang ini kecil, tetapi memiliki dinding-dinding yang tebal. Ruang ini sangatlah penting. Bahkan dapat dikatakan ruang ini adalah ruang kendali dari seluruh tubuh. Tuhan masuk bersama saya dan melihat deretan buku di rak, majalah-majalah di atas meja, dan gambar-gambar di dinding. Saya mengikuti arah pandangan Tuhan dan merasa aneh berada di ruang ini, tetapi saat Dia berada di situ dan melihat-lihat, saya merasa malu. MataNya terlalu suci untuk melihat buku-buku tertentu yang ada di rak. Di atas meja juga ada beberapa majalah yang tak pantas dibaca oleh seorang Kristen. Apalagi beberapa gambar yang ada di dinding itu – yang mencerminkan imajinasi dan pemikiran saya – sungguh memalukan.
Dengan wajah merah, saya berpaling kepada-Nya dan berkata, “Tuhan, saya tahu ruang ini perlu dibenahi dan ditata kembali. Maukah Engkau menolongku membenahinya dan mengubahnya sebagaimana seharusnya ?”
“Tentu saja,” jawab-Nya. Aku sangat senang membantumu! Apalagi Aku sudah sering melakukannya. Pertama, sisihkanlah semua bacaan yang tidak benar, tidak baik, tidak suci, dan tidak berguna. Buanglah semua itu! Lalu isilah rak-rak yang kosong itu dengan buku-buku yang berkaitan dengan Alkitab. Taruhlah Kitab Suci di perpustakaan ini dan renungkanlah itu siang dan malam. Dan juga gambar-gambar di dinding – sepertinya itu membuat engkau sulit mengendalikan pikiran. Tetapi Aku akan membantumu.” Lalu Dia memberi saya sebuah lukisan besar, foto diri-Nya.
“Pasanglah gambar ini,” katanya, “pada dinding pikiranmu.” Saya menaatinya, dan selama bertahun-tahun saya mendapati bahwa saat pikiran saya tertuju kepada Kritus maka kesadaran saya akan kehadiran, kesucian, dan kuasa-Nya mengusir semua pikiran yang tidak murni dan kotor. Dia menolong saya mengontrol segala pemikiran, sekalipun pergumulan itu masih terus berlangsung.
Jika Anda mengalami kesulitan dalam mengatur ruang pikiran yang kecil ini, izinkan saya menyarankan agar Anda mengundang Yesus ke sana. Isilah dengan Firman Allah, pelajari dan renungkan dengan seksama, dan jagalah selalu hadirat Allah.
À RUANG MAKAN À

ari ruang belajar, kami ke ruang makan yang penuh dengan nafsu dan keinginan. Ruang ini cukup besar, dan merupakan tempat yang paling penting bagi saya. Saya telah menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk memuaskan segala keinginan saya di sini.
Saya berkata, “Ini ruang favorit saya. Saya yakin Engkau akan senang dengan apa yang akan dihidangkan di sini.”
Dia duduk dan bertanya, “Apa menu kita malam ini?”
“Menu favorit saya adalah : uang, gelar akademis, kekayaan, disertai ketenaran dan keberuntungan sebagai menu tambahan.” Saya sangat menyukai hal-hal duniawi ini. Memang tidak buruk, tetapi sesungguhnya semua ini bukanlah jenis makanan yang dapat mengenyangkan jiwa dan memuaskan kelaparan rohani.
Saat hidangan tersaji, Tuhan tidak berkata apa-apa. Namun saya perhatikan Dia tidak makan sedikitpun. Karena ingin tahu, saya pun bertanya, “Juruselamat, tidakkah Engkau suka makanan ini? Atau, adakah yang tidak beres?”
Dia menjawab, “Aku punya sejenis makanan yang tidak kamu kenal. Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku.” Dia memandang saya dan berkata, “Kalau kamu merindukan makanan yang benar-benar memuaskan jiwamu, lakukanlah kehendak Bapamu yang di surga. Utamakanlah Dia lebih dari segalanya. Berhentilah berusaha memenuhi keinginanmu, ambisimu, dan nafsumu. Berusahalah untuk menyenangkan Dia. Makanan ini akan benar-benar membuatmu puas. Cobalah !”
Kemudian Dia membiarkan saya mencicipi bagaimana rasanya melakukan kehendak Allah. Sungguh lezat! Tak ada makanan lain selezat ini. Dan, sungguh memuaskan. Pada akhirnya, semua makanan yang lain tak lagi terasa nikmat.
Apa menu yang tersaji di ruang makan keinginan kita? Apakah makanan yang kita sajikan untuk Tuhan dan untuk kita sendiri? “Semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup” (I Yohanes 2:16) – Semua keinginan itu berpusat pada diri kita sendiri! Atau, adakah kita memilih kehendak Allah sebagai makanan dan minuman yang memuaskan jiwa kita?
À RUANG TAMU À

erikutnya kami memasuki ruang tamu. Ruangan ini sunyi, namunhangat dan nyaman. Saya sangat menyukai ruangan ini. Di situ ada perapian, sofa yang nyaman, dan rak buku. Suasananya pun menyenangkan. Tampaknya Tuhan juga menyukai ruangan ini. Dia berkata, “Ruangan ini sungguh menyenangkan. Kita harus sering datang kemari. Ruangan ini cukup sunyi. Kita dapat bebas berbicara dan bersekutu di sini.”
Sebagai orang Kristen baru, secara alami hati saya tergetar mendengar hal itu. Saya rindu untuk dapat bersekutu secara pribadi dengan Kristus setiap hari, meski hanya untuk beberapa menit.
Dia berjanji, “Aku akan ada di sini setiap pagi. Temui Aku di sini dan kita akan mengawali setiap hari bersama-sama.”
Karena itu, setiap pagi saya ke ruang tamu. Dia membuka Alkitab, dan kami membacanya bersama-sama. Dia memberitahukan kepada saya keajaiban-keajaiban dari kebenaran Allah yang menyelamatkan. Dia membuat hati saya bersuka dengan menceritakan hal-hal yang telah dan akan diperbuatNya bagi saya. Saat-saat kebersamaan itu begitu indah. Melalui Alkitab dan Roh Kudus, Dia berbicara kepada saya. Dan, saya menjawabnya melalui doa. Persahabatan kami pun bertumbuh melalui percakapan pribadi yang terjadi setiap kali saya bersaat teduh bersamaNya.
Namun karena tanggung jawab saya bertambah banyak, sedikit demi sedikit waktu saya bersaat teduh semakin berkurang. Mengapa, saya tidak dapat menjawabnya dengan pasti. Saya hanya merasa terlalu sibuk jika harus menyediakan waktu khusus secara teratur untuk Kristus. Ini tidak saya sengaja – saya yakin Anda pasti mengerti – tetapi terjadi begitu saja. Pada akhirnya saya tidak hanya mempersingkat saat teduh saya, tetapi bahkan melewatkan begitu saja, terutama saat saya harus mempersiapkan diri menghadapi ujian. Kesibukan demi kesibukan menyita waktu saya sehingga tak ada lagi kesempatan untuk bercakap-cakap dengan Yesus. Bahkan saya sering melewatkannya selama berhari-hari.
Suatu pagi, saya terburu-buru berangkat menghadiri sebuah pertemuan penting. Saat melewati ruang tamu, saya melihat pintu terbuka. Di sana tampak perapian yang menyala dan Yesus duduk di sofa. Tiba-tiba sebuah pemikiran terbersit di benak saya, “Dia tamu saya. Saya yang mengundangnya ke dalam hati saya! Dia telah datang untuk tinggal bersama sebagai Tuhan dan Sahabat saya. Namun sekarang saya mengabaikanNya.
Saya pun berhenti, berbalik, dan masuk ke ruang tamu itu. Dengan rasa bersalah, saya berkata, “Tuhan, maafkan saya ! Apakah Engkau datang ke sini setiap pagi?”
“Ya,” jawabNya, “Aku sudah berjanji untuk menemuimu setiap hari di sini.” Saya pun bertambah malu. Dia tetap setia meski saya tidak setia. Saya meminta maaf, dan Dia pun memaafkan saya, sebagaimana yang selalu dilakukan-Nya setiap kali kita mengakui kesalahan kita dan bertekad untuk melakukan yang benar.
Dia berkata lagi, “Masalahnya adalah, kamu sadar bahwa kamu memerlukan saat teduh, Pendalaman Alkitab, dan doa agar kerohanianmu bertumbuh. Itu baik, tetapi sayang, kamu lupa bahwa hal-hal itu juga sangat berarti bagiKu. Ingatlah bahwa Aku mengasihimu. Dengan harga yang mahal Aku telah menebusmu. Karena itu, Aku sangat menghargai saat-saat untuk bersekutu denganmu. Saat engkau datang menghampiriKu, Aku sungguh merasa senang. Sebab itu tolong jangan lewatkan saat-saat itu – demi Aku. Entahkah kau sedang ingin atau tidak ingin bertemu denganKu, ingatlah bahwa Aku selalu rindu untuk bertemu denganmu. Aku sungguh mengasihimu!”
Saat saya menyadari bahwa Dia rindu bersekutu dengan saya, bahwa Dia mengasihi saya sehingga Dia selalu ingin bertemu dengan saya bahkan rela menunggu, saya pun mengubah total cara bersaat teduh saya. Jangan biarkan Kristus sendirian menunggu lama di ruang tamu hati Anda. Tentukan saat dan tempat di mana setiap hari Anda dapat bersekutu denganNya melalui Firman Allah dan doa.
À RUANG KERJA À

ak lama kemudian Dia bertanya, “Apakah kamu punya ruang kerja
di rumah ?” Di garasi rumah hati saya, terdapat meja kerja dan seperangakat peralatan tetapi saya jarang ke ruang itu. Terkadang saya membuat satu-dua perabotan kecil, tetapi saya tidak pernah membuat sesuatu yang cukup berarti.
Saya pun mengajak Tuhan ke sana.
Dia melihat meja kerja saya, dan talenta serta ketrampilan yang saya miliki. Di atas meja ada dua boneka mainan kecil buatan saya. Dia mengambilnya satu dan berkata, “Ini cukup bagus. Apa saja yang telah kamu buat untuk Kerajaan Allah? Benda-benda inikah yang kamu buat untuk sesama dalam hidupmu sebagai orang Kristen?”
Saya merasa begitu gelisah! “Tuhan, itulah yang terbaik yang dapat kulakukan. Memang tidak cukup berarti. Dengan kebodohan dan kemampuan saya yang terbatas, saya tak tahu harus berbuat apalagi.”
“Maukah kau membuat sesuatu yang lebih berarti?”
“Engkau tahu kalau aku pasti mau, Tuhan!” jawab saya mantap.
“Pertama, kau harus ingat bahwa Aku telah mengajarmu: ‘di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yohanes 15:5). Datanglah kepadaKu dan izinkan RohKu bekerja melalui engkau. Aku tahu engkau tidak terampil dan berbakat, tetapi Roh Allah adalah Guru Besarmu. Jika Dia mengendalikan hatimu dan tanganmu, Dia akan bekerja melalui dirimu. Sekarang, berbaliklah. “Kemudian dengan tanganNya yang kuat Dia memegang tangan saya, mengambil peralatan, dan mulai bekerja melalui diri saya. “Tenanglah. Kamu terlalu tegang. Santai saja – biarkan Aku yang bekerja!”
saya kagum melihat barang-barang yang dapat dibuat oleh tanganNya yang terampil – melalui saya – ketika saya mempercayaiNya dan mengijznkanNya bekerja. Sebenarnya barang-barang yang dihasilkan itu tidak selalu sesuai dengan harapan saya sebagai manusia. Sering kali saya tidak menyukai caraNya. Rupanya saya masih harus banyak belajar. Saya tahu pasti bahwa segala sesuatu yang dihasilkan untuk Tuhan, dikerjakan oleh Dia dan melalui RohNya di dalam saya.
Jangan berkecil hati jika Anda tak dapat berbuat banyak untuk Tuhan. Yang penting bukanlah kemampuan, melainkan kemauan kita. Berilah diri Anda kepada Kristua. Bersikaplah peka dan tanggap terhadap kehendak Tuhan. Percayailah Dia. Dia akan membuat Anda terkagum-kagum melihat hal-hal yang dapat Dia perbuat melalui diri Anda.!

aya teringat bahwa Dia juga pernah bertanya tentang ruang rekreasi, dimana saya biasa bersenang-senang. Sebenarnya saya berharap Dia tidak menanyakan hal itu. Ada aktivitas tertentu yang ingin saya rahasiakan, karena saya tahu Yesus tidak akan menikmati atau menyetujui apa yang saya lakukan itu. Oleh karena itu, saya mencoba mengelak dari pertanyaan itu.
Namun suatu sore tatkala saya hendak pergi dengan beberapa teman ke kota, Yesus berdiri di pintu sambil memandang saya, “Apakah kamu akan pergi?”
Saya pun menjawab, “Ya.”
“Bagus,” kataNya, “Aku ingin ikut denganmu.”
“Oh”, saya kebingungan dibuatnya. “Saya kira Engkau tak akan menyukai acara ini. Saya janji kita akan pergi bersama besok malam. Kita akan menghadiri Pendalaman Alkitab atau pertemuan lain di gereja, tetapi malam ini saya ada acara lain.”
“Terserah kamu,” Dia tidak memaksa. “Aku hanya berpikir bahwa sejak Aku masuk ke dalam rumah hatimu, kita akan melakukan segala sesuatu bersama-sama – dan menjadi sahabat dekat! Hanya, kau perlu tahu bahwa Aku sangat ingin menyertaimu!”
“Yah, kita akan pergi bersama-sama besok malam!”
Namun sore itu saya merasa gelisah. Saya telah bersikap jahat. Sahabat macam apa saya ini? Saya meninggalkan Yesus begitu saja untuk melakukan hal-hal yang tidak Dia sukai. Ketika pulang, saya melihat lampu di kamarNya menyala. Saya mendatangiNya serta menceritakan semua itu kepadaNya. Saya pun mengakui kesalahan saya, “Tuhan, saya telah mendapat pelajaran yang berharga. Saya tahu sekarang bahwa saya tidak dapat menikmati kesenangan jika Engkau tidak bersamaku. Sejak saat ini, kita akan melakukan segala sesuatu bersama-sama.!”
Kemudian saya mengajak Dia ke ruang rekreasi di rumah hati saya. Dan, Dia mengadakan perubahan. Dia memberikan persahabatan, kebahagian, dan sukacita yang baru. Suara musik dan tawa menghangatkan suasana di dalamnya. Sambil berkedip, Dia memberikan senyum dan berkata, “Bukankah tadinya engkau mengira bahwa bersamaKu engkau tak dapat bersenang-senang? Ingatlah, Aku datang ‘supaya sukacitaKu ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh” (Yohanes 15:11).

uatu hari kami berada di ruang tidur saya, dan Dia bertanya tentang foto yang ada di samping tempat tidur. “Itu foto istri saya,” saya menjelaskan.
“Engkau sangat mencintainya bukan?” Dia bertanya lagi.
“Ya,” jawab saya mantap. Saya teringat saat saya berdiri di altar bersamanya. Saya sangat mencintainya dan sadar sepenuhnya bahwa ia adalah anugerah Allah yang istimewa bagi saya. Namun saya juga sadar bahwa saya adalah manusia biasa yang mudah terseret ke dalam pencobaan.
Tampaknya Tuhan dapat membaca pikiran saya, sehingga Dia berkata, “Tapi engkau ragu akan kelemahanmu sendiri, bukan? Bahkan engkau bertanya-tanya, apakah ajaranKu mengenai kasih dan pernikahan sudah benar?”
“Ya,” jawab saya dengan jujur.
“Dengarkan baik-baik. Ikatan pernikahan mengikat seorang pria dan seorang wanita – bukan karena seksualitas itu buruk. Justru sebaliknya, karena seksualitas itu baik. Di dalamnya tidak hanya ada kesenangan, tetapi juga ikatan dua kehidupan, dalam kasih yang semakin dalam. Pernikahan juga memiliki kekuatan kreatif untuk membangun kehidupan yang baru. Pernikahan sungguh luar biasa. Jika dibina dengan benar, akan menghasilkan kebaikan yang besar. Bila tidak, yang baik itu pun hancur. Untuk itulah Allah berkehendak agar niat ini diungkapkan dalam komitmen sepasang sejoli yang saling mencintai dan bertekad untuk hidup bersama.
“Aku akan menolongmu. Jika engkau telah melakukan sesuatu yang salah dan memalukan, ketahuilah bahwa Aku tetap mengasihimu dan menyertaimu. Ceritakanlah kepadaKu. Akuilah kesalahanmu. Ambillah langkah tegas untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. Bersandarlah pada kekuatanKu agar engkau tidak jatuh.”
Dengan kekuatanNya, saya rindu untuk mengasihi istri saya dengan sepenuh hati. Namun saya masih harus banyak belajar tentang kasih, terutama tentang kasih Kristus. Saat itulah saya sadar bahwa saya belum memberi diri kepada istri saya sebagaimana Kristus memberi diri untuk saya, yakni menempatkan kepentingan dan kebahagiaannya di atas kepentingan dan kebahagiaan saya sendiri. Saya tahu bahwa ada banyak hal yang menggoda saya untuk tidak setia kepada istri saya.
Tadinya saya merasa bahwa panggilan kristiani saya untuk mengutamakan Tuhan lebih penting daripada panggilan istri saya untuk menjadi istri, ibu, dan pelayan Tuhan yang baik. Namun setelah berbicara dengan Tuhan, cara pandang saya pun berubah. Dia menunjukkan kepada saya bahwa dengan menjaga kehangatan dalam pernikahan dan bertumbuh dalam kasih, saya tidak hanya memenuhi kebutuhan pribadi dan emosi, tetapi juga mempererat hubungan dengan Allah, dengan anak-anak, dan dengan orang-orang yang kami layani.
Karena itu saya sungguh bersyukur atas kasih istri saya yang terus-menerus memberi diri bagi saya dan keluarga. Dengan anugerah Allah, semua itu telah menutupi setiap kekurangan saya. Ya, ruang tidur utama dalam hidup saya, di mana kasih suami-istri berpadu, kini menjadi salah satu prioritas yang Allah ajarkan kepada saya.
À RUANG KELUARGA À

uatu hari Dia berkata, “Kita telah melakukan banyak hal bersama - sama. Kita sering membuat acara dan berbincang-bincang bersama, dan Aku menikmati semua itu. Tetapi ruang yang di sana itu,” Dia menunjuk ke ruang keluarga, “tampaknya selalu sepi. Bukankah ruang itu merupakan tempat seluruh anggota keluarga berkumpul?”
“Benar Tuhan,” saya menanggapi pertanyaanNya, “Apa yang Engkau pikirkan?”
“KeluargaKu terdiri atas orang-orang yang berasal dari ber-bagai bahasa, budaya, usia, dan tujuan. Mereka datang dengan berbagai cara, dari berbagai gereja dan denominasi, dengan berbagai misi dan pelayanan, secara formal maupun tidak formal, dalam kebaktian yang dihadiri ribuan orang atau persekutuan dua-tiga orang. Ketika orang Kristen berkumpul untuk beribadah, belajar, atau melayani, tidak semua merasa dekat satu sama lain sebagaimana layaknya saudara dalam satu keluarga. Seseorang bisa saja merasa sendiri dan tidak dikasihi, meski ia ada di tengah puji-pujian yang bersemangat dan duduk di sebelah orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh kepada Allah.
“Kehidupan keluarga yang sehat bertumbuh dan berkembang lewat membina hubungan. Ikatan ini dipererat dengan pertemuan-pertemuan informal yang memungkinkan setiap anggota keluarga bebas bercerita tentang kejadian-kejadian hari itu dan juga tentang setiap pemikiran dan perasaan mereka. Di situ keluarga dapat mengambil keputusan bersama dan merasakan kebahagiaan. Di situ pula setiap anggota keluarga dapat merasa bahwa ia adalah bagian penting dari keluarga, yang dikasihi dan diperhatikan oleh anggota keluarga yang lain.”
Semua yang dikatakanNya sungguh masuk akal. Maka sejak saat itu saya selalu mengajak seluruh keluarga untuk berkumpul secara teratur di ruang keluarga hati saya. Di situ kami saling mem-bantu untuk mengenal Kristus lebih dalam dan mencapai tujuan hidup kami masing-masing. Di situ kami – seluruh anggota kelaurga-dapat bersantai bersama.
Di situ kami dapat melepas ketegangan dan mengenal satu sama lain. Dalam suasana keterbukaan dan penerimaan yang penuh kasih, sekalipun banyak perbedaan dan ketidaksetujuan di antara kami, setiap anggota keluarga semakin dekat satu sama lain sebagaimana layaknya sebuah keluarga.
Bahkan saya juga merasakan suasana kekeluargaan ini saat beribadah bersama orang-orang yang belum pernah saya jumpai. Ini terjadi dalam ibadah bersama yang dihadiri ribuan orang yang tidak saya kenal, atau dalam persekutuan dengan orang-orang yang bahasanya pun tidak saya pahami. Dalam pertemuan-pertemuan itu, saya merasa sebagai anggota tubuh Kristus yang berhubungan dekat seperti saudara dalam keluarga, yang bersekutu secara teratur untuk tujuan yang sama.
Kesatuan ini terjadi terutama bila persekutuan itu dipusatkan pada pribadi Kristus, dengan Alkitab sebagai pedomannya. Tujuan pertemuan mingguan atau dua mingguan yang biasanya kita adakan ialah untuk mengenal Allah lebih dalam, menyenangkan Dia, saling mendukung dan saling memahami antar anggota tubuh Kristus. Hal itu berulang kali terjadi pada diri saya, seperti yang Dia pernah katakan, “Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.”
À DAPUR À

ita telah menikmati makanan-makanan enak dari sini,” Tuhan berujar saat kami berada di dapur.
“Benar,” ada nada puas dalam jawaban saya.
“Kukira kau sudah siap.”
“Siap untuk apa?” Saya penasaran dengan apa yang Dia pikirkan.
“Kupikir kau sudah siap membantu di dapur. Jumlah anggota keluargaKu begitu besar, baik anak-anak maupun orang dewasa. Bila kita hendak menyiapkan makanan untuk mereka semua, pastilah dapur ini akan menjadi tempat yang paling sibuk.
“Menyiapkan dan menghidangkan makanan sangatlah penting agar sebuah keluarga sehat dan bahagia. Tanpa gizi yang cukup, orang-orang akan menjadi lemah, sakit, bahkan meninggal. Dalam keluarga Allah, ada banyak orang yang bekerja di dapur. Para Pendeta, utusan Injil, juga para relawan yang membagikan Roti Kehidupan bagi para pengikut Kristus. Mereka rindu membagikannya kepada siapa saja yang mau menerimaNya. Namun tantangannya sangat berat. Banyak ‘koki’ menjadi kepayahan, putus asa, atau sebaliknya bekerja asal-asalan dalam tugas pelayanan yang tampaknya tidak menggembirakan dan tidak mendatangkan hasil itu. Sebenarnya yang menjadi penyebabnya adalah banyak dari antara koki itu berusaha mengerjakannya dengan kekuatan mereka sendiri.”
Saya menyimpan semua perkataanNya itu dalam hati. Dan, ketika saya mulai melayani Dia di dapur hati saya, saya mendapati bahwa ada banyak anggota keluarga Allah yang lain, yang mau dan membantu saya asal diberi kesempatan dan diberitahu apa yang harus dilakukan. Pekerjaan akan lebih ringan bila yang seorang menyiapkan hidangan pencuci mulut, yang lain menyiapkan makanan pembuka, dan yang lain lagi menyiapkan menu utamanya. Apalagi ditambah tenaga yang khusus menata meja, mencuci piring, dan menyiapkan segala peralatan. Mereka juga sangat dibutuhkan. Dalam sebuah keluarga yang akrab, setiap anggota akan selalu siap untuk membantu.
Selanjutnya, di depan dapur hati saya terpampang papan yang bertuliskan, “DIDAPUR INI ADA BANYAK KESEMPATAN ! SETIAP ANGGOTA KELUARGA ALLAH DIPERSILAHKAN MASUK.” Dan, percaya atau tidak, saya berhasil mengajak orang-orang untuk bekerja dalam tim, terutama saat kami merasa bahwa tugas yang dibebankan terlalu berat untuk ditanggung seorang diri. Dengan berdoa bersama, bekerja bersama, dan saling mendukung, kami melihat bagaimana Allah sanggup memelihara dan memberkati keluargaNya.
Yesus pun bekerja sama dalam satu tim dengan murid-muridNya. Rasul Paulus juga melakukannya. Bahkan ia mengajarkan bahwa umat Allah harus sehati, sepikir, dan menjadi satu dalam ikatan tubuh Kristus. Bila seorang anggota tim melayani pekerjaan Tuhan, ia tidak dituntut untuk menunjukkan kehebatan, ketrampilan, atau prestasi pribadinya. Ia hanya perlu bersandar pada anugrah Allah. Hal ini menyadarkan saya bahwa hati saya adalah rumah dari Dia “yang dapat melakukan jauh lebih banyak daripada yang kita doakan atau pikirkan.”
À GUDANG À

da satu hal yang ingin saya bagikan kepada Anda. Suatu saat Dia menanti saya di pintu depan dan memandang saya dengan tajam. Saat saya masuk, Dia berkata, “Ada bau tak sedap di rumah ini. Sepertinya ada bangkai di lantai atas. Barangkali di gudang.”
Seketika itu juga saya mengerti apa yang Dia maksud. Di lantai atas ada sebuah gudang kecil. Di dalamnya terdapat benda-benda pribadi saya. Dan, saya tak ingin ada yang tahu tentang benda-benda itu. Apalagi Kristus. Benda-benda itu sudah mati dan busuk. Benda-benda itu berasal dari kehidupan lama saya – tidak jahat, tetapi tidak baik dan tidak benar jika dimiliki orang Kristen. Namun saya sangat mencintainya. Saya ingin mempertahankannya, karena itu saya tidak mau mengakui bahwa saya sengaja menyimpannya di situ. Saat menaiki tangga bersamaNya, bau itu kian menyengat. Dia menunjuk pada pintu gudang dan berseru, “Di sana! Pasti ada bangkai di sana!”
Itu membuat saya marah! Hanya di situ saya bisa menyimpan benda-benda pribadi saya itu. Saya telah memberikan semua kunci dari setiap ruangan kepadaNya – namun kini Dia menanyakan kunci gudang ini. Saya pun bergumam, “Keterlaluan! Saya tak akan memberikan kunci yang satu ini!”
Sepertinya Dia membaca pikiran saya. KataNya, “Baiklah, jika kau tak ingin membersihkannya. Tetapi jangan kau kira Aku akan bertahan dengan bau busuk ini. Aku akan pindah ke serambi belakang atau tempat lain. Aku tidak mau berada di dekat sini.” Dan, Dia pun segera menuruni tangga.
Jika Anda sudah mengenal dan mengasihi Yesus Kristus, maka hal paling menakutkan yang mungkin terjadi adalah bila kita merasa Dia memalingkan wajah dan menjauh dari kita. Akhirnya, saya pun menyerah. “Baiklah, saya akan menyerahkan kunci gudang itu kepadaMu,” dengan berat hati saya berkata, “tetapi Engkau yang harus membersihkannya, karena saya tak sanggup melakukannya.”
“Aku tahu,” kataNya. “Berikan saja kuncinya. Dan percayalah bahwa Aku akan mengatasinya.” Dengan tangan gemetar, saya ulurkan kunci itu kepadaNya. Dia menerimanya dan segera ke pintu, membukanya, dan mengeluarkan barang-barang yang busuk dan membuangnya. Kemudian Dia membersihkan gudang itu, mengecatnya, dan menatanya kembali. Dalam sekejap gudang itu sudah bersih, bahkan harum dan segar. Suasananya sudah berubah. Saat bangkai itu dibuang, ada kelepasan dan kemenangan dalam hidup saya! Apa pun dosa atau kepedihan masa lalu kita, Yesus selalu siap sedia mengampuni, memulihkan, dan memberi kelegaan.

iba - tiba saya terpikir sesuatu. Saya bergumam, “ Saya mencoba menjaga hati saya tetap bersih agar layak menjadi tempat tinggal Kristus, tetapi rasanya terlalu berat. Saat saya selesai membersihkan satu ruangan, saya mendapati bahwa ruangan yang lain juga kotor. Sementara saya membersihkan ruangan yang kedua, ruangan yang pertama sudah mulai kotor lagi. Saya merasa sangat kelelahan ketika harus menjaga hati saya agar tetap bersih dan hidup saya agar tetap taat. Saya tidak sanggup!”
Lalu saya bertanya, “Tuhan, apakah mungkin bila Engkau yang mengatur dan mengelola seluruh bagian rumah ini, sebagaimana yang Engkau lakukan pada gudang tadi? Dapatkah saya menyerahkan tanggung jawab kepadaMu untuk menjaga hati saya dan tindakan-tindakan saya sebagaimana yang seharusnya?”
Seketika wajahNya berubah cerah, “Tentu saja! Untuk itulah Aku datang. Engkau tidak sanggup menjalani kehidupan dengan kekuatanmu sendiri. Itu tidak mungkin. Izinkan Aku mengerjakannya untukmu dan melalui dirimu. Hanya itulah satu-satunya cara yang tepat! Tapi,” kalimatNya tersendat, “Aku bukan pemilik rumah ini. Aku hanya tamu di sini. Aku tak berhak melakukan segala sesuatu karena semua yang ada di rumah ini bukan milikKu.”
Tiba-tiba semuanya menjadi jelas. Dengan bersemangat saya berseru, “Tuhan, tadinya Engkau memang tamu dan tuan rumahnya adalah saya. Namun mulai saat ini, Engkau adalah pemilik dan tuan rumah di sini. Saya hanyalah pembantu yang mengabdi kepadaMu.” Kemudian saya berlari ke lemari besi dan mengambil dokumen kepemilikan rumah. Saya kembali kepadaNya, menandatangani surat tadi, dan mengalihkan hak milik atas rumah itu kepada Dia, sekarang dan untuk selamanya. Saya berlutut dan menyerahkan kepada Dia, “Inilah saya dan segala yang saya miliki. Mari Tuhan, aturlah rumah ini. Biarlah saya menjadi pembantuMu dan sahabatMu.”
Hari itu Dia mengambil alih hidup saya, dan ternyata itulah cara terbaik untuk menjalani kehidupan kristiani. Dia tahu benar bagaimana cara menjaga dan memanfaatkan hidup kita. Suatu kedamaian yang mendalam mengalir dalam jiwa saya. Saya adalah milikNya dan Dia adalah milik saya, selamanya!
Kiranya Kristus juga tinggal bersama sebagai Tuhan dalam hati Anda.
God bless
BalasHapus